Setelah sekian lama gak
nanjak, akhirnya long weekend kali ini (3-5 April), saya dan Titi memutuskan
untuk kembali menjejakkan kaki di ketinggian. Berhubung mulai membludaknya
pendaki di gunung-gunung Jawa Barat seperti Gede-Pangrango, Papandayan, dan
Cikuray, akhirnya pilihan jatuh ke sebuah gunung yang terletak di pinggiran
kota Bandung, tepatnya di Kecamatan Pacet, Desa Sukarame. Belum banyak orang
yang tahu tentang gunung yang mempunyai ketinggian 1922 mdpl ini. Aksesnya
cukup mudah dijangkau, dari terminal leuwi panjang dapat ditempuh dengan tiga
kali ganti angkot sampai di pintu gerbang desa sukarame, tempat basecamp himpala rakutak berada.
Perjalanan diawali dari
Manggarai. Kami memutuskan untuk naik bus primajasa dari pool bus Cililitan.
Sampai cililitan pukul 7.30, langsung mencari tempat penitipan motor di
seberang pool bus, biayanya cukup murah, hanya Rp 5000 saja per malamnya. Saat
tiba di pool bus, kami dihadapkan dengan pemandangan ratusan (atau mungkin ribuan?) orang yang sedang
menunggu bus yang belum juga datang. Karena ramainya penumpang, kami diharuskan
mengantri dengan mengambil nomer antrian. Untuk bus tujuan Bandung, kami
mendapat nomor urut 346 dan 349. Sedangkan bus tujuan Garut dan Tasik nomor
antriannya sudah lebih dari 1000 (bisa
dibayangin kan berapa lama nunggunya? :P).
Sekitar pukul 11.00
akhirnya kami bisa duduk dengan tenang di bangku empuk bus primajasa setelah
lebih dari tiga menunggu. Di dalam bus saya mendengar ucapan sang kenek bus
yang mengatakan bahwa terlambatnya bus disebabkan oleh perjalanan bus dari
bandung ke jakarta yang ditempuh sekitar tujuh jam (what? mau berapa lama sampe Bandung?). Untungnya waktu tempuh
sampai bandung tidak selama yang dipikirkan, sekitar pukul 3 kami sudah tiba di
terminal Leuwi Panjang. Setelah mengisi perut dengan sepiring nasi goreng dan
semangkuk bubur (ini buat berdua loh),
kami memutuskan untuk tidur di depan sebuah minimarket di luar terminal.
Langit mulai terang,
pukul 7.00 perjalanan dilanjutkan. Dari terminal Leuwi Panjang naik angkot ke
arah kebon kelapa dengan harga Rp 4000. Kemudian dilanjut dengan elf jurusan
Bandung-Majalaya, turun di pasar Ciparay dengan biaya Rp 10.000. Di sini kami
melengkapi perbekalan untuk pendakian kali ini. Dari Ciparay hanya tinggal
sekali naik angkot warna kuning menuju Desa Sukarame, tarifnya Rp 6000.
Sampai di gerbang Desa
Sukarame, dilanjut dengan berjalan kaki sekitar 10menit menuju basecamp Himpala Rakutak. Dari basecamp, kami diantar menuju rumah kang
Agus, senior himpala. Sayangnya kami tidak bertemu kang Agus di sana karena
kang Agus beserta senior himpala lainnya sedang melakukan pendakian rutin
setiap malam jumat di Gunung Rakutak.
ketutupan jari nih potonya xD |
Setelah beristirahat sejenak dan mengurus
perijinan pendakian, sekitar pukul 9.30 kami memulai pendakian dengan dibekali
dua buah bibit pohon yang harus kami serahkan kepada penjaga warung di atas (iya, gak salah baca kok, di Rakutak emang
ada warungnya :D). Dimulai dengan menyusuri gang sempit perumahan warga,
dilanjut dengan melewati perkebunan warga dengan buah yang sudah hampir ranum
terus menggoda untuk dipetik di sepanjang perjalanan. Ada tanaman kopi, cabai,
tomat, singkong, bahkan kami juga menemukan tanaman kacang merah yang ditanam
warga. Hujan yang mengguyur pada malam
sebelumnya membuat jalur yang dilewati penuh dengan lumpur, sehingga alas sepatu
kami menjadi tebal. Di tengah perjalanan kami berpapasan dengan rombongan kang
Agus yang baru turun.
Karena jalur Gunung Rakutak
masih jarang dilewati orang, maka di beberapa titik masih terdapat jalur yang
tertutup ilalang cukup tinggi, yang paling tinggi ada yang setinggi kepala
orang dewasa. Jalur perkebunan di akhiri di warung kang Ihin (bisa delivery order juga loh dari atas,
tinggal sms aja). Kira-kira pukul 14.00 kami tiba di sini. Sejenak kami
merenggangkan otot-otot yang mulai tertarik sembari bertegur sapa dengan kang
Ihin. Warung kang Ihin menjual macam-macam gorengan, ada lontong, dan juga air
minum botolan yang diambil dari mata air dan dimasak dengan kayu bakar. Karena
perut yang sedari tadi sudah minta diisi, akhirnya kami putuskan untuk berjalan
sedikit ke atas dari warung kang Ihin, lalu kami membongkar perbekalan (gak enak cuy masak di depan warung xD).
Makan mie instan di gunung memang selalu jadi lebih nikmat, haha. Setelah
memulihkan tenaga, kami melanjutkan perjalanan, dari batas warung kang Ihin,
jalurnya mulai memasuki hutan dan semakin terjal, ditambah lagi tanah basah
yang membuat jalur menjadi licin (hati-hati
yah kalo ke sini musim hujan).
Ini nih salah satu tanjakannya |
Sepanjang jalur
pendakian tak satu pun kami menemukan kelompok pendaki lain. Kami terus
berjalan diliputi rasa cemas, takut tersasar. Yang mengiringi perjalanan kamii
hanyalah suara-suara burung dan segerombol monyet yang membuat gadung di atas
pohon, mungkin mereka takut dengan kedatangan kami. Jalur di dalam hutan cukup
terjal, dan banyak akar. Beberapa kali kami harus memaksa otot-otot di kaki
untuk bekerja ekstra memanjat lahan yang cukup tinggi. Pukul 16.00 kami tiba di
pos Tegal Alun (jangan bayangin ada
edelweiss di sini, ini bukan Tegal Alunnya Gunung Papandayan loh :P). Lega
sekali rasanya saat bertemu pendaki lain yang sudah lebih dulu mendirikan tenda
di sini. Tegal Alun ini cukup luas, kira-kira delapan tenda dapat didirikan di
sini. Mengingat persediaan air kami yang tinggal 2 botol, akhirnya diputuskan
untuk mendirikan tenda dekat dengan kelompok pendaki yang sudah lebih dulu
tiba. Sejenak beritirahat sambil bercengkrama para pendaki yang terdiri dari
empat orang tersebut.
cieee tenda baru :P |
Ini diajak narsis ama Titi :P |
Menjelang malam, saya
mengirim SMS ke kang Ihin untuk minta diantarkan 3botol air minum dan gorengan,
lalu kami mulai menyiapkan makan malam. Tumis kangkung, cumi asin dan beberapa
potong melon menjadi hidangan pengantar tidur malam ini. Sambil. Beberapa saat
kemudian anak-anak kang Ihin tiba membawa pesanan kami, harganya cukup murah,
hanya Rp 3000 untuk perbotol air 1,5liter dan Rp 1000 untuk gorengan
perbuahnya, ditambah dengan ongkos antar seiklasnya.
Sayangnya di Tegal Alun
kami tidak bisa menikmati pemandangan sekitar. Kata salah seorang dari tetangga
sebelah tenda, kalau camp di puncak
bisa jelas melihat pemandangan langit dan kelap kelip lampu kota Bandung (lain kali mau naik ke rakutak lagi, terus
ngecamp di puncak,, harus! :D). Sebelum tidur Titi membuat agar-agar
sebagai bekal summit attack esok.
Enaknya mendaki berdua
adalah bisa bangun sesuka hati tanpa didesak ajakan untuk mengejar sunrise di puncak. Pukul 7.00 kami
bangun dan keluar tenda melihat sudah bertambah dua kelompok pendaki yang
mendirikan tenda di sekitar kami. Setelah merapihkan barang-barang di dalam tenda
dan menyiapkan perbekalan, kami melanjutkan perjalanan menuju puncak. Jalur
yang lebih terjal sudah menunggu kami di depan, tapi udara segar yang dapat
kami hirup pagi itu menambah semangat untuk menghadapi tanjakan demi tanjakan
yang kami hadapi.
Gunung
Rakutak terdiri dari tiga puncak, yaitu puncak satu, puncak dua, dan top
rakutak. Perjalanan dari Tegal Alun menuju puncak 1 ditempuh sekitar 45 menit. Puncak
satu merupakan lahan terbuka yang hanya cukup untuk mendirikan dua tenda ukuran
besar. Di atas sini kami disuguhi pemandangan kota bandung dan beberapa gunung
di jawa barat seperti Papandayan dan cikuray yang ada di Garut, ada juga
Tangkuban Perahu (liat dari asep asepnya
sih kayaknya bener, haha), ada Ciremai juga (katanya sih ada, tapi gak tau yang mana, banyak banget gunungnya :P)
jalur terjal yang kami lewati menuju puncak pun terlihat jelas dari sini.
Setelah puas menikmati pemandangan alam, kami melanjutkan perjalanan ke puncak
dua.
Jalan
satu-satunya menuju puncak dua adalah jalan setapak kecil yang hanya bisa
dilalui satu orang dengan pemandangan jurang di kanan-kirinya, salah langkah
sedikit dapat mengakibatkan malaikat Izrail datang menjemput lebih cepat (hiiii…seremm). Karena jalurnya yang tipi
situ, banyak pendaki yang menjuluki jalan tersebut sebagai jembatan shirotol mustaqim. Jalur ini dapat
ditempuh sekitar 30 menit.
Mulai masuk ke shirotol mustaqim |
Batu ini ada di tengah shirotol mustaqim |
Sesampainya
di puncak dua, kami bertemu pendaki yang bermala di sini. Sama seperti puncak
satu, di puncak dua juga merupakan lahan terbuka, dan hanya cukup untuk dua
tenda ukuran besar. Kami memilih tempat di samping tenda salah satu kelompok
lalu mengeluarkan peralatan masak. Spaghetti
bolognese menjadi menu utama sarapan, ditemani agar-agar, beberapa potong
melon, dan nutrisari hangat.
Habis
sarapan, tak ketinggalan foto-foto selfie
di puncak dua, sayangnya pemandangan Gunung Cikuray yang menjadi background
foto mulai tertutup awan. Sekitar pukul 10.00 kami turun menuju Tegal Alun. Tak
seperti waktu naik, perjalanan kami turun menuju Tegal Alun hanya membutuhkan
waktu 45 menit saja. Setelah beristirahat sejenak di Tegal Alun sambil
foto-foto (lagi), kami bersiap untuk
turun ke basecamp.
Cheese! |
Keju! |
at puncak penuceria :D |
Kalo yang ini selfie di tegal alun |
Hujan deras menemani
perjalanan turun kami menerobos hutan. Hanya 30 menit waktu yang kami lewati
sampai maka diputuskan untuk berteduh di warung bersama kelompok pendaki lain
yang baru naik (petirnya sereemm..). perjalanan
dilanjutkan setelah hujan mulai reda. Masih ditemani gerimis, pemandangan
perkebunan terhampar memanjakan mata selama perjalanan turun. Tak adanya sampah
menambah pesona di jalur Gunung Rakutak ini. Rasanya kami tak akan pernah bosan
untuk menginjakkan kaki di sini.
Huwaaa keren banget Om mendaki berdua ^^
BalasHapus